SALAM JUMPA

Foto saya
BERADA DI DESA SIDO MULYO,YANG LEBIH POPULER DI SEBUT " LIKU TIGA "AQU ORANGNYA SUPEL ,HOBI BERTEMAN DAN MENCARI TAMBAHAN ILMU PENGETAHUAN.SIDOMULYO ADALAH SALAH SATU DESA DI KABUPATEN SELUMA.PROPINSI BENGKULU. joint Us : My Twitter : @Slam3tsip My Fb : Slametsip

Sabtu, 22 Januari 2011

Oh, Komunikasi Presiden Sabtu, 22 Januari 2011 15:41 WIB

KITA hargai kepedulian Presiden kepada kesejahteraan prajurit dan upaya yang terus dilakukan pemerintah untuk memperbaikinya. Sebagai seorang yang pernah menjalani hidup sebagai seorang prajurit, Presiden tentu tahu bagaimana beratnya kehidupan seorang prajurit untuk bisa membangun keluarganya.
    
Namun semua itu bukan alasan bagi prajurit untuk tidak bersikap profesional. Menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan polisi adalah sebuah pilihan hidup. Kebanggaan seorang anggota TNI dan polisi bukan terletak pada materi yang diperoleh, tetapi pengabdian yang bisa diberikan.
     
Meski bukan tujuan untuk mengekar materi, negara memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki kehidupan keluarga prajurit. Hanya karena kemampuan keuangan negara yang terbatas, maka perbaikan itu terpaksa dilakukan secara bertahap.
    
Itulah yang ingin disampaikan Presiden ketika berbicara di depan peserta Rapat Pimpinan TNI dan Polri. Seharusnya Presiden cukup berhenti sampai di sana dan meminta prajurit TNI serta Polri untuk tetap pada komitmennya memberikan yang terbaik kepada negara.
   
Ketika kemudian ada anak kalimat yang menyebutkan tentang gaji sebagai Presiden yang tidak pernah naik dalam tujuh tahun terakhir, pidato Presiden menjadi keluar dari proporsi. Orang menganggap tidak pada tempatnya Presiden membandingkan gaji dirinya dengan kesejahteraan prajurit.
   
Gaji Presiden meski tidak naik, pasti tidak membuat hidupnya menjadi menderita. Presiden tidak mungkin kelaparan dan tidak mampu menyekolahkan anaknya. Gaji Presiden bukanlah gaji yang harus dipakai untuk menghidupi keluarganya. Kalau sekadar dari gaji itu tidaklah mungkin Presiden bisa mengirim putranya untuk bisa bersekolah sampai ke Boston atau membelikan mobil-mobil pribadi untuk kedua anaknya.
     
Namun bagi keluarga prajurit, gaji bulanan yang mereka terima menentukan hidup-mati keluarganya. Mereka tidak memiliki simpanan dan tunjangan lain yang memungkinkan untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan putra-putrinya.
     
Perbandingan yang tidak pas itulah yang akhirnya membuat Presiden menjadi sasaran kritik baru. Seakan-akan Presiden mengharapkan adanya kenaikan gaji, padahal dengan gaji Rp 62,5 juta atau sekitar 6.900 dollar AS  per bulan, gaji Presiden itu sudah 28 kali lebih tinggi dari pendapatan per kapita rata-rata rakyat Indonesia.
     
Kalau dibandingkan dengan sekitar 40 juta rakyat Indonesia yang pendapatan per harinya hanya 1 dollar AS, maka gaji Presiden itu 280 kali lebih tinggi. Wajarlah jika kemudian muncul kritikan, mengapa tidak lebih dulu memikirkan jutaan warga yang hidup di bawah garis kemiskinan daripada memikirkan terlebih dulu diri sendiri.
      
Kita ingin kembali mengingatkan pentingnya peran dan tugas dari pejabat negara. Oleh karena pilihannya untuk memilih jalur kehormatan, maka pejabat negara tabu untuk membicarakan kesejahteraan dirinya. Tugas utama dari pejabat negara adalah memikirkan bagaimana menyejahterakan kehidupan rakyatnya.
     
Percayalah bahwa tidak ada pejabat negara yang hidup miskin. Rakyat juga tahu diri untuk memberikan kehidupan yang pantas kepada pimpinan negaranya. Semua fasilitas yang dinikmati para pejabat negara mulai dari rumah, kendaraan, bahkan pendidikan putra-putri serta kebutuhan rumah tangganya dibiayai sepenuhnya oleh rakyat melalui pajak yang dibayarkan.
    
Bahwa kehidupan pejabat negara tidak akan berkelimpahan harta, itu memang bukan tujuan hidupnya. Kalau ia ingin mengejar kekayaan, maka bukan jalur pejabat negara yang harus dipilih, tetapi menjadilah pengusaha yang berhasil.
    
Untuk itulah dalam tradisi Jawa dikenal dengan istilah sepi ing pamrih, rame ing gawe. Seorang pejabat negara itu harus giat dalam bekerja dan tidak perlu mengharapkan adanya imbalan.
     
Berulangkali kita menyampaikan bahwa bangsa ini mempunyai role model yang sangat baik tentang bagaimana menjadi pejabat negara yang baik. Kita pernah memiliki seorang Wakil Presiden yang bernama Mohammad Hatta yang bisa menjadi pribadi yang bersih dan tidak pernah silau oleh harta karena ini sudah menetapkan untuk mengabdikan dirinya kepada negara.
     
Bung Hatta mampu membedakan antara milik umum dan milik pribadi. Bahkan dalam menggunakan kertas untuk berkirim surat pun, ia membedakan betul antara surat pribadi yang harus dibiayai dengan uang sendiri dengan surat dinas yang bisa menggunakan fasilitas negara.
    
Proklamator bangsa yang satu ini tidak pernah mengeluhkan soal kecilnya gaji yang ia terima. Bahkan ketika ia tidak mampu membeli sepatu impor yang ia inginkan, Bung Hatta tidak pernah menyesali pilihan hidupnya.
     
Kalau saja orientasi hidupnya sekadar untuk mengejar kekayaan, maka Bung Hatta pasti tidak memilih untuk kembali ke Tanah Air guna memerdekakan negeri ini bersama Bung Karno. Ia bisa tetap tinggal di Belanda dan dengan ilmu ekonomi yang dipelajarinya, Bung Hatta pasti akan bisa memiliki kehidupan yang jauh lebih baik.
     
Berbagai pelajaran ini sengaja kita angkat untuk membuat kita pandai-pandai dalam berkomunikasi. Apalagi dalam kehidupan sekarang ini, di mana begitu banyak rakyat yang hidupnya begitu terimpit, sepantasnya pejabat negara untuk lebih memiliki kepekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar